Global News : Jakarta - Darnia, 30 tahun, menyusun 3 pasang
pakaiannya ke dalam tas ransel hitam berukuran sedang. Sebuah selimut,
mukena dan handuk juga ia selipkan. Lalu ia memanggul tasnya yang tidak
tampak terlalu gembung. Di suatu tempat yang jadi titik temu, ia bersua
dengan 26 orang wanita sekampungnya, dari Pandeglang, Jawa Barat.
Senin lalu, rombongan yang terdiri dari 27 orang wanita tersebut
berjalan beriringan naik mobil pribadi. Tujuan mereka satu tempat,
Jakarta. “Kami naik travel, pakai mobil bagus, pokoknya jadi orang kaya
sementara,” kata Darnia kepada detikcom, Kamis (1/8). Tujuannya sebuah
rumah bercat krem di perumahan Persero Adumaniaga di kawasan Cipete
Selatan, Jakarta Selatan.
Di rumah itu ada sebuah plang dengan
tulisan yang tidak mencolok tapi terbaca jelas, BUGITO. Di kawasan
tersebut, nama Bu Gito sudah sangat dikenal. Dia adalah seorang pemilik
Yayasan Cendana Raya yang berkecimpung dalam penyaluran tenaga kerja
baik pembantu rumah tangga, babysitter, koki, sopir hingga tukang kebun.
Melalui BUGITO, mereka ingin menjajal keberuntungannya dengan menjadi
tenaga kerja infal – khusus dipekerjakan pada masa mudik dan Lebaran-.
Darnia berharap pada gelimang rupiah. Di kampung Ibu dua anak ini kadung
mendengar janji manis akan upah pembantu rumah tangga infal yang tiga
kali lipat dari upah pembantu pada masa normal.
Harapan Darnia tak muluk-muluk. “Uangnya nanti untuk 100 hari anak pertama saya, nanti tanggal 9 genap 100 hari,” kata dia.
****
Warti,
37 tahun bergegas. Ia hanya menenteng tas kecil berisi empat pasang
baju, salah satunya sepasang baju tidur. Dia bergabung dengan empat
orang rekannya dan seorang makelar wanita yang menjanjikan pekerjaan
baginya. Warti sebenarnya agak ragu-ragu berangkat. Sebelumnya ia tak
pernah kerja-kerja bulanan apalagi hanya untuk beberapa hari saja.
Tapi bayangan akan dapat penghasilan besar akhirnya membulatkan
tekadnya. Dia belum pernah menjadi pembantu infal, meski sebelum menikah
ia sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Cilincing,
Jakarta Utara.
Wanita yang sehari-hari bekerja sebagai buruh
tani ini sudah menyusun rencana jika nanti berhasil mendapat gaji besar.
Salah satunya untuk biaya anaknya yang saat ini duduk di bangku sebuah
sekolah menengah kejuruan. Sisanya akan digunakan sebagai modal untuk
mengolah sawahnya. “Sekarang di sana lagi mau musim tanam, makanya ini
lagi cari modal untuk nanam, satu hektar perlu modal satu juta
(rupiah),” kata dia.
Di kampung, Warti juga menjadi buruh tani. Penghasilannya Rp 40 ribu per
hari, dengan jam kerja mulai jam 07.00 pagi sampai sore. Dia pun
tergiur penghasilan Rp 100 ribu di Jakarta dengan menjadi pembantu
musiman.
****
Dari Pandeglang, Banten Hasana (40 tahun),
Ana Sarniti (38 tahun), dan Noorlia (34 tahun) sama-sama berangkat naik
mobil. Senin lalu tiga wanita yang berprofesi sebagai petani itu juga
berangkat dibawa oleh makelar yang sama dengan Darnia. Tujuannya sama
demi mendapat gaji yang lebih tinggi dibanding pendapatan saat di
kampung halaman mereka.
“Sekarang baru selesai panen, jadi enggak ada kerjaan di kampung,” kata
ketiganya, hampir serempak. Tak adanya pekerjaan dan penghasilan membuat
mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tertarik saat
mendengar banyak permintaan untuk tenaga pembantu rumah tangga di Ibu
kota.
Noorlia, ibu tiga orang anak itu mengaku belum pernah
menjadi pembantu musiman. Hanya dia mengaku pernah bekerja untuk cuci
gosok, beres-beres dan memasak pada seorang majikan di kawasan Tebet,
Jakarta Selatan. Ana Sarniti pun sama. Ibu dua orang anak itu hanya
mengaku pernah bekerja di Tangerang. Sementara Hasana, ibu empat orang
anak, mengaku sudah pernah bekerja sebagai infal tahun lalu di Sunter.
“Saya
kerja 18 hari, dapat per hari Rp 90 ribu, enggak ada yang dipotong,”
kata Hasana. Baginya, kesuksesan yang pertama menjadi gula yang ingin
kembali ia cicipi pada musim mudik kali ini.
****
Kelima
wanita itu disatukan oleh mimpi akan manisnya peluang jadi pembantu
infal. Namun kini kegetiran tak bisa disembunyikan dari wajah-wajah
mereka yang mulai resah. Tekad mereka yang menggebu mulai luntur.
Pasalnya, mereka sudah menunggu hingga empat hari. “Sekarang mah enggak
tau ini, sudah empat hari di sini belum ada yang ambil,” kata Ana.
Noor yang mulai cemas pun ikut menimpali, “Dari 27 orang yang sisa
sekarang 10 orang”. Rekannya Hasana, ingin membagi semangat. “Saya dari
hari Senin sampai sekarang belum juga, insyaallh besok mangkat dapat
majikan yang baik,” kata Hasana.
Di tempat penampungan sementara
itu, tak hanya ada Hasana, Ana, Noor, Darnia dan Warti tapi juga dari
berbagai pelosok di Jawa tengah dan Jawa Barat. Menurut Ibu Gito, saat
ini masih ada sekitar 60 orang infal yang siap pakai tapi belum
tersalurkan. Mereka memang masih ditampung dan mendapat jatah makan
berbuka dan sahur.
Di sana mereka tidur berdesakan di atas lantai yang dilapisi tikar
plastik. Semua demi iming-iming gaji infal yang tinggi. “Sedihnya,
Lebaran cuma satu hari tapi harus pisah dari keluarga, karena duit,”
kata Hasana.
detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar