Kamis, 01 Agustus 2013

Demi Mimpi Wanita Ini Rela Jadi Pembantu Dadakan

Global News : Jakarta - Darnia, 30 tahun, menyusun 3 pasang pakaiannya ke dalam tas ransel hitam berukuran sedang. Sebuah selimut, mukena dan handuk juga ia selipkan. Lalu ia memanggul tasnya yang tidak tampak terlalu gembung. Di suatu tempat yang jadi titik temu, ia bersua dengan 26 orang wanita sekampungnya, dari Pandeglang, Jawa Barat.

Senin lalu, rombongan yang terdiri dari 27 orang wanita tersebut berjalan beriringan naik mobil pribadi. Tujuan mereka satu tempat, Jakarta. “Kami naik travel, pakai mobil bagus, pokoknya jadi orang kaya sementara,” kata Darnia kepada detikcom, Kamis (1/8). Tujuannya sebuah rumah bercat krem di perumahan Persero Adumaniaga di kawasan Cipete Selatan, Jakarta Selatan.

Di rumah itu ada sebuah plang dengan tulisan yang tidak mencolok tapi terbaca jelas, BUGITO. Di kawasan tersebut, nama Bu Gito sudah sangat dikenal. Dia adalah seorang pemilik Yayasan Cendana Raya yang berkecimpung dalam penyaluran tenaga kerja baik pembantu rumah tangga, babysitter, koki, sopir hingga tukang kebun.

Melalui BUGITO, mereka ingin menjajal keberuntungannya dengan menjadi tenaga kerja infal – khusus dipekerjakan pada masa mudik dan Lebaran-. Darnia berharap pada gelimang rupiah. Di kampung Ibu dua anak ini kadung mendengar janji manis akan upah pembantu rumah tangga infal yang tiga kali lipat dari upah pembantu pada masa normal.
Harapan Darnia tak muluk-muluk. “Uangnya nanti untuk 100 hari anak pertama saya, nanti tanggal 9 genap 100 hari,” kata dia.

****

Warti, 37 tahun bergegas. Ia hanya menenteng tas kecil berisi empat pasang baju, salah satunya sepasang baju tidur. Dia bergabung dengan empat orang rekannya dan seorang makelar wanita yang menjanjikan pekerjaan baginya. Warti sebenarnya agak ragu-ragu berangkat. Sebelumnya ia tak pernah kerja-kerja bulanan apalagi hanya untuk beberapa hari saja.

Tapi bayangan akan dapat penghasilan besar akhirnya membulatkan tekadnya. Dia belum pernah menjadi pembantu infal, meski sebelum menikah ia sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Cilincing, Jakarta Utara.

Wanita yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani ini sudah menyusun rencana jika nanti berhasil mendapat gaji besar. Salah satunya untuk biaya anaknya yang saat ini duduk di bangku sebuah sekolah menengah kejuruan. Sisanya akan digunakan sebagai modal untuk mengolah sawahnya. “Sekarang di sana lagi mau musim tanam, makanya ini lagi cari modal untuk nanam, satu hektar perlu modal satu juta (rupiah),” kata dia.

Di kampung, Warti juga menjadi buruh tani. Penghasilannya Rp 40 ribu per hari, dengan jam kerja mulai jam 07.00 pagi sampai sore. Dia pun tergiur penghasilan Rp 100 ribu di Jakarta dengan menjadi pembantu musiman.

****

Dari Pandeglang, Banten Hasana (40 tahun), Ana Sarniti (38 tahun), dan Noorlia (34 tahun) sama-sama berangkat naik mobil. Senin lalu tiga wanita yang berprofesi sebagai petani itu juga berangkat dibawa oleh makelar yang sama dengan Darnia. Tujuannya sama demi mendapat gaji yang lebih tinggi dibanding pendapatan saat di kampung halaman mereka.

“Sekarang baru selesai panen, jadi enggak ada kerjaan di kampung,” kata ketiganya, hampir serempak. Tak adanya pekerjaan dan penghasilan membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka tertarik saat mendengar banyak permintaan untuk tenaga pembantu rumah tangga di Ibu kota.

Noorlia, ibu tiga orang anak itu mengaku belum pernah menjadi pembantu musiman. Hanya dia mengaku pernah bekerja untuk cuci gosok, beres-beres dan memasak pada seorang majikan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Ana Sarniti pun sama. Ibu dua orang anak itu hanya mengaku pernah bekerja di Tangerang. Sementara Hasana, ibu empat orang anak, mengaku sudah pernah bekerja sebagai infal tahun lalu di Sunter.

“Saya kerja 18 hari, dapat per hari Rp 90 ribu, enggak ada yang dipotong,” kata Hasana. Baginya, kesuksesan yang pertama menjadi gula yang ingin kembali ia cicipi pada musim mudik kali ini.

****

Kelima wanita itu disatukan oleh mimpi akan manisnya peluang jadi pembantu infal. Namun kini kegetiran tak bisa disembunyikan dari wajah-wajah mereka yang mulai resah. Tekad mereka yang menggebu mulai luntur. Pasalnya, mereka sudah menunggu hingga empat hari. “Sekarang mah enggak tau ini, sudah empat hari di sini belum ada yang ambil,” kata Ana.

Noor yang mulai cemas pun ikut menimpali, “Dari 27 orang yang sisa sekarang 10 orang”. Rekannya Hasana, ingin membagi semangat. “Saya dari hari Senin sampai sekarang belum juga, insyaallh besok mangkat dapat majikan yang baik,” kata Hasana.

Di tempat penampungan sementara itu, tak hanya ada Hasana, Ana, Noor, Darnia dan Warti tapi juga dari berbagai pelosok di Jawa tengah dan Jawa Barat. Menurut Ibu Gito, saat ini masih ada sekitar 60 orang infal yang siap pakai tapi belum tersalurkan. Mereka memang masih ditampung dan mendapat jatah makan berbuka dan sahur.

Di sana mereka tidur berdesakan di atas lantai yang dilapisi tikar plastik. Semua demi iming-iming gaji infal yang tinggi. “Sedihnya, Lebaran cuma satu hari tapi harus pisah dari keluarga, karena duit,” kata Hasana.

detiknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar