Global News World : SOLO - Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan
Indonesia (Asmindo) Solo, Yanti Rukmana, menduga bahwa sistem yang
diberlakukan dalam penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
belum setara dengan perilaku buyer asal Uni Eropa (UE) dalam membeli
produk mebel dari Indonesia.
Yanti mengungkapkan, dugaan
ketidakseimbangan tersebut diketahui dari perilaku produsen mebel asal
Uni Eropa (UE) yang lebih gampang dalam mengimpor barang ke Indonesia
tanpa harus dilengkapi dengan perizinan yang sesuai dengan standar SVLK.
"Namun
ketika kita ingin mengekspor barang ke luar negeri terutama ke wilayah
Uni Eropa (UE) diwajibkan untuk melengkapi segala jenis persyaratan yang
ditentukan SVLK," jelas Yanti, kepada wartawan di The Sunan Hotel Solo,
Selasa (27/8/2013).
Adanya perbedaan dalam pemberlakuan SVLK, akan membuat ekspor dan impor terhambat terutama untuk produk mebel di daerah .
"Saat
ini anggota kami sedang mengurus segala jenis perizinan SVLK. Prosesnya
sangat rumit dan tidak mudah. Dan juga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit," ungkapnya.
Seorang eksportir diwajibkan mengeluarkan biaya minimal Rp25 juta untuk bisa mendapatkan SVLK.
Yanti
juga menjelaskan, sampai hingga saat ini pangsa pasar ekspor mebel di
kawasan Uni Eropa (UE) seperti Prancis, Inggris, Italia, Jerman dan
Belanda masih belum stabil akibat jatuhnya perekonomian domestik
pasca krisis global tiga tahun lalu.
"Karena itu, kita sangat
berharap kepada pemerintah untuk ikut membantu mengembangkan pemasaran
produk mebel lokal ke tingkat internasional," imbuh Yanti.
Okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar