I. Seni Sastra.
Bahasa Karo adalah bahasa
sehari-hari yang digunakan masyarakat Karo. Ruang lingkup penggunaan
bahasa itu sendiri tidak mengenal ruang dan waktu. Dimanapun dan pada
saat kapanpun jika ada sesama Karo bertemu ataupun bukan orang Karo tapi
mengerti bahasa Karo berhak untuk berdialog dengan bahasa Karo.
Seni sastra bahasa Karo tingkat
tinggi seperti “Cakap Lumat”. Cakap lumat adalah dialog diselang-selingi
dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam yang digunakan untuk
sepasang kekasih untuk saling menggoda. Misalnya dahulu seorang pemuda
bercintaan dengan seorang gadis di ture (teras rumah adat) maka untuk
menarik perhatian gadis tersebut dia menggunakan cakap lumat.
Seni sastra Karo dapat
digolongkan beberapa jenis yaitu : pantun, gurindam, anding-andingen
(sindiran), kuan-kuanen (perumpamaan), bintang-bintang (mirip pantun),
bilang-bilang (cetusan rasa sedih), cerita mitos, legenda dan cerita
rakyat.
Bahkan bilang-bilang ditulis
dengan aksara Karo di sepotong bambu. Isinya adalah jeritan hati
sipenulisnya. Bilang-bilang tersebut terfokus pada suasana kepedihan.
Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang sebagai “dengang
duka.”
Sama halnya dengan daerah lain
di Indonesia, Karo juga mempunyai legenda dan cerita rakyat. Misalnya
cerita Pawang Ternalem, Putri Hijau, Sibayak Barus Jahe, Guru Pertawar
Reme, Si Beru Rengga Kuning, Beru Karo Basukum, Dunda Katekuten, Beru
Ginting Pase, Baru Tarigan Tambak Bawang, Kak tengkok bungana, Siberu
Tandang Kemerlang, Tera Jile-jile, Kerbo Sinanggalatu, Perpola,
Singelanja Sira, Gosing Si Ajibonar dan lain sebagainya.
Aksara Karo merupakan salah satu
bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut sejarahnya aksara Karo bersumber
dari aksara Sumatera Kuno yaitu campuran aksara Rejang, Lebong, Komering
dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa dari India Selatan,
Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah Karo. Aksara ini hampir mirip
dengan Simalungun dan Pakpak Dairi. Aksara Karo dulu ditulis di kulit
kayu, tulang dan bambu.
II. Seni Musik.
Alat musik tradisional suku Karo
adalah Gendang Karo. Biasanya disebut Gendang “Lima Sedalinen” yang
artinya seperangkat gendang tari yang terdiri dari lima unsur.
Unsur disini bisa kita lihat
dari beberapa alat musik tradisional Karo seperti Kulcapi, Balobat,
Surdam, Keteng-keteng, Murhab, Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si
nganaki, Penganak dan Gung. Alat tradisional ini sering digunakan untuk
menari, menyanyi dan berbagai ritus tradisi.
Jadi Gendang Karo sudah lengkap
(lima sedalinen) jika sudah ada Serune, Gendang si ngindungi, Gendang si
nganaki, Penganak dan Gung dalam mengiringi sebuah upacara atau pesta.
Tapi sekarang perkembangan musik
Karo sudah terkontaminasi dengan alat modern semacam keyboard. Era
masuknya musik keyboard ke dalam kesenian Karo sekitar tahun 1990an.
Musik keyboard sudah mendominasi kesenian Karo, sehingga timbul
kesimpulan jika tidak ada Keyboard maka gendang Karo itu tidak ramai.
III. Seni Suara.
Diperkirakan dibawah tahun
1800an suku Karo belum mengenal seni suara secara nyata. Kemudian dalam
perkembangannya muncullah lagu-lagu yang dibawakan seseorang sebagai
‘perende-rende’ (penyanyi). Lagunya masih cenderung sedih. Lagu ini
biasa dibawakan untuk mengantar cerita atau memuja seseorang. Juga
menyampaikan doa seperti lagu didong-didong.
Setelah perkembangannya
lagu-lagu Karo mulai diiringi oleh gendang Karo sebagai musiknya. Yang
membawakan lagu ini baik laki-laki maupun perempuan disebut
permanga-mangga dan akhirnya beralih nama menjadi perkolong-kolong.
Banyak lagu Karo diciptakan dari
generasi terdahulu sampai sekarang. Sebagai contoh komponis Karo yang
telah melegenda adalah Djaga Depari.
IV. Seni Tari.
Tari dalam bahasa Karo disebut
“Landek.” Pola dasar tari Karo adalah posisi tubuh, gerakan tangan,
gerakan naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan
gerak kaki. Pola dasar tarian itu ditambah dengan variasi tertentu
sehinggga tarian tersebut menarik dan indah.
Tarian berkaitan adat misalnya memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain.
Tarian berkaitan dengan ritus
dan religi biasa dipimpin oleh guru (dukun). Misalnya Tari Mulih-mulih,
Tari Tungkat, Erpangir Ku Lau, Tari Baka, Tari Begu Deleng, Tari
Muncang, dan lain-lain.
Tarian berkaitan dengan hiburan digolongkan secara umum. Misalnya Tari Gundala-gundala, Tari Ndikkar dan lain-lain.
Sejak tahun 1960 tari Karo
bertambah dengan adanya tari kreasi baru. Misalnya tari lima serangkai
yang dipadu dari lima jenis tari yaitu Tari Morah-morah, Tari Perakut,
Tari Cipa Jok, Tari Patam-patam Lance dan Tari Kabang Kiung. Setelah itu
muncul pula tari Piso Surit, tari Terang Bulan, tari Roti Manis dan
tari Tanam Padi.
V. Seni Pahat (Ukir).
Keragaman seni pahat dan ukir
suku Karo terlihat dari corak ragam bangunannya. Dulu orang yang ahli
membuat bangunan Karo disebut “Pande Tukang.”
Hal ini terlihat dari
jenis-jenis bangunan Karo seperti Rumah Siwaluh Jabu, Geriten, Jambur,
Batang, Lige-lige, Kalimbaban, Sapo Gunung, dan Lipo.
Seni ukir yang menjadi kekayaan
kesenian Karo terlihat pada setiap ukiran bangunannya seperti Ukir
Cekili Kambing, Ukir Ipen-Ipen, Ukir Embun Sikawiten, Ukir Lipan Nangkih
Tongkeh, Ukir Tandak Kerbo Payung, Ukir Pengeretret, dan Ciken.
VI. Seni Drama.
Seni drama tergolong langka pada
masyarakat Karo. Kalaupun ada biasanya berhubungan dengan tarian
seperti Tari Mondong-Ondong yang berhubungan dengan drama Perlanja Sira
(Pemikul Garam), Tari Tungkat dan Tari Guru.
Tidak bisa disangkal lagi
kedudukan suatu kebudayaan akan lebih lagi mendapat pengakuan jika ada
pengakuan dari kreatifitas keseniannya dan bagaimana etnik tersebut
mengembangkan unsur keseniannya.
Pengembangan dan pelestarian
kesenian Karo saat ini sudah masuk dalam taraf memprihatinkan. Kita
tidak boleh begitu saja menyalahkan para seniman Karo yang selalu saja
berusaha mencari cara bagaimana agar kesenian Karo dapat berkembang dan
lestari. Tapi keberlangsungan kesenian Karo tersebut terletak pada
masyakarakat Karo sendiri bagaimana mengapresiasikan kekayaan
keseniannya.
Sekali lagi, keberlangsungan
kesenian Karo tidak hanya terletak di bahu para senimannya. Tapi juga
peran serta masyarakat Karo dalam melestarikan dan menghargainya.
Alangkah baiknya jika kita
tumbuhkan rasa memiliki, melestarikan dan menghargai akan perkembangan
kesenian Karo. Hingga Kesenian Karo itu tidak pernah mati.
Sarudung Blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar